MAKALAHKU10 - MAKALAH PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA
Pancasila Sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Namun
walaupun pancasila saat ini telah dihayati sebagai filsafat hidup bangsa dan
dasar negara, yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa,sikap mental,budaya
dan karakteristik bangsa, saat ini asal usul dan kapan di
keluarkan/disampaikannnya Pancasila masih dijadikan kajian yang menimbulkan
banyak sekali penafsiran dan konflik yang belum selesai hingga saat ini.
Namun
dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai sejarah yang panjang tentang
perumusan-perumusan terbentuknya pancasila, dalam perjalanan ketata- negaraan
Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan
Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi
yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan
pencetus istilah Pancasila.
Nilai
– nilai pancasila itu telah ada pada bangsa indonesia sejak zaman dulu kala
sebelum bangsa indonesia mendirikan negara. Proses terbentuknya negara indonesia
melalui proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman batu hingga
munculnya karajaan-kerajaan pada abad ke-IV
Soekarno
pernah mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan
tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi
kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43
SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna, “sejarah
memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu “sejarah merupakan guru
kehidupan”. Sejarah memperlihatkan
dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika
mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan citacita itu menjadi kabur dan
usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita
ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh
cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat
mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu
yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban
besar)
Kuat
dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya
sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and
deepen” identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak Pancasila digali dan
dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan
membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang “terbius” selama
kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
A.
PANCASILA
DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA
Menurut Mr. Muhammad Yamin berdirinya
negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan
lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Tanpa disadari , nilai – nilai luhur
pancasila sudah mulai terbentuk sejak masa kerajaan – kerajaan di Indonesia ,
diantaranya adalah 2 kerajaan terbesar di Indonesia yaitu Kerajaan Sriwijaya
dan Kerajaan Majapahit.
Dapat dikatakan bahwa nilai-nilai
religious sosial dan politik yang merupakan materi Pancasila sudah muncul sejak
memasuki zaman sejarah (Suwarno, 1993: 23-24). Bahkan, pada masa kerajaan ini,
istilah Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku Nagarakertagama karangan
Prapanca dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku tersebut istilah
Pancasila di samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa
Sansekerta), juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila
Krama)
a. Masa
Kerajaan Sriwijaya
Pada abad ke VII berdirilah kerajaan Sriwijaya dibawah
kekuasaan wangsa Syailendra di Sumatera. Kerajaan yang berbahasa Melayu Kuno
dan huruf pallawa adalah kerajaan
maritime yang mengandalkan jalur perhubungan laut. Kekuasaan
Sriwijaya menguasai selat Sunda dan Selat Malaka (775). Sistem perdagangan
telah diatur dengan baik, dimana pemerintah melalui pegawai raja membentuk
suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajinan rakyat sehingga rakyat
mengalami kemudahan dalam pemasarannya. Dalam sistem pemerintahan sudah
terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rohaniawan yang menjadi
pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci sehingga saat
itu kerajaan dapat menjalankan sistem negaranya dengan nilai-nilai Ketuhanan
(Kaelan,1999:27) . Cita-cita kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah
tercermin pada kerajaan Sriwijaya sebagai terebut dalam perkataan “marvuat
vannua Criwijaya ssiddhayatra subhiksa” (suatu cita-cita negara yang adil dan
makmur).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam
Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an, Kemanusiaan, Persatuan, Tata pemerintahan atas
dasar musyawarah dan keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai
bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja
belum dirumuskan secara kongkrit.
Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah
menunjukkan nilkai-nilai Pancasila, yaitu:
·
Nilai
Sila pertama, terwujud dengan adanya
umat agama Budha dan Hindu hidup berdampingan secara damai. Pada
kerajaan Sriwijaya terdapat pusat
kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.
·
Nilai
Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti
Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh
nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
·
Nilai
Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara
kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
·
Nilai
Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki
kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung
Melayu.
·
Nilai
Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga
kehidupan rakyatnya sangat makmur.
b. Masa
Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah salah satu
kerajaan terbesar di Nusantara pada masanya. Sejak zaman Majapahit , telah
terbukti adanya pengamalan-pengamalan nilai-nilai pancasila, diantaranya :
·
Pengamalan
sila pertama telah terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan
secara damai, Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang di dalamnya
telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma
dimana dalam buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu
jua dan tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan
realitas beragama saat itu.
·
Sila
kedua telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa
dan Kamboja. Menagadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar
“ Mitreka Satata”.
·
Sebagai
perwujudan nilai-nilai Sila ketiga telah terwujud dengan keutuhan kerajaan,
khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada
sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita
mempersatukan seluruh nusantara
·
Sila
keempat sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh sistim
pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung (1329) dalam tata
pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaan seperti
Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan nasehat kepada
raja. Kerukuan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan
adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama.
·
Sedangkan
perwujudan sila kelima adalah sebagai wujud dari berdirinya kerajaan beberapa
abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan Majapahit
adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai
cita-citanya.
1. Era
Pra Kemerdekaan
Dalam
sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7 September 1944, perdana
menteri Jepang Jendral Kuniaki Koisi, atas nama pemerintah Jepang mengeluarkan
janji kemerdekaan Indonesia yang akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945,
sebagai janji politik. Sebagai realisasi janji ini, pada tanggal 1 Maret 1945
Jepang mengumumkan akan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai / BPUPKI). Badan ini baru
terbentuk pada tanggal 29 April 1945.
Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada tanggal 28
Mei 1945, dengan Ketua Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat,
Adanya
badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya
secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai
negara yang merdeka. Oleh karena itu, peristiwa ini dijadikan sebagai suatu
tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
Badan
penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama pada tanggal 29
Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua pada tanggal 10 Juli
sampai dengan 17 Juli 1945.
Pada
sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 , Mr. Muhammad Yamin mengemukakan usul
yang disampaikan dalam pidatonya yang berjudul asas dan dasar negara Kebangsaan
Indonesia :
1)
Peri
kebangsaan
2)
Peri
kemanusiaan
3)
Peri
Ketuhanan
4)
Peri
kerakyatan
5)
Kesejahteraan
rakyat.
Tangaal
31 Mei 1945 Prof.Dr. Soepomo mengusulkan perihal yang pada dasarnya bukan dasar
negara merdeka, akan tetapi tentang paham negaranya yaitu negara yang berpaham
integralistik. Adapun rancangan dasar negara oleh Soepomo ialah :
1. Paham negara persatuan
2. Penghubungan negara dan agama
3.
Sistem badan permusyawaratan
4. Sosialisme Negara
5. Hubungan antarbangsa
Selain
itu, Prof.Dr.Supomo juga mengemukakan teori-teori negara, yaitu:
1.
Teori negara perseorangan
2.
Paham negara kelas
3.
Paham negara integralistik
Pada
hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga mengusulkan lima dasar
bagi negara Indonesia. Lima dasar itu atas petunjuk seseorang ahli bahasa yaitu
Mr. M. Yamin. Lima dasar yang diajukan Bung Karno ialah
1.
Nasinalisme
(Kebangsaan Indonesia),
2.
Internasionalisme
atau perikemanusiaa,
3.
Mufakat
atau demokrasi,
4.
Kesejahteraan
sosial,
5.
Ketuhanan
yang Maha Esa (berkebudayaan) (kaelan,2000 :37-40)
Berdasarkan
petunjuk seorang ahli bahasa, Ir. Soekarno menamakan kelima sas itu Pancasila
yang kemudian diusulkan sebagai dasar Negara Indonesia.
BPUPKI
juga membentuk Panitia kecil (Panitia Sembilan) dengan ketua Ir. Soekarno. Pada
tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI menghasilkan rumusan yang disebut Piagam Jakarta
(Jakarta Charter). Di dalam alenia ke-4 Piagam Jakarta dirumuskan lima asas Negara
Indonesia Merdeka yaitu:
1.Ketuhanan dengan menjalankan syariat
Islam bagi pemelik-pemeluknya.
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat
dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
Mulai dari sidang pertama sampai akhir sidang BPUPKI
kedua ini rumusan Pancasila dalam sejarah perumusannya ada empat macam:
·
Rumusan
pertama Pancasila adalah usul dari Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945
·
Rumusan
kedua Pancasila adalah usul Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yakni usul pribadi
dalam bentuk tertulis,
·
Rumusan
ketiga Pancasila usul bung Karno tanggal 1 Juni 1945, usul pribadi dengan nama
Pancasila,
·
Rumusan
keempat Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, hasil kesepakatan
bersama pertama kali.
Meskipun Pancasila secara formal belum
menjadi dasar negara Indonesia, namun unsur-unsur sila-sila Pancasila yang
dimiliki bangsa Indonesia telah menjadi dorongan perjuangan bangsa Indonesia
pada masa silam. Pada saat proklamasi, semua kekuatan dari berbagai lapisan
masyarakat bersatu dan siap mempertahankan
serta mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Oleh karena itu,
dapat dinyatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah revolusi
Pancasila.
2. Era
Orde Lama
Pada
masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada
situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu
kondisi politik dan keamanan dalam negeri banyak diliputi oleh kekacauan. Masa
orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam
sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda
pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda,
yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Pada
periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi
lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara
dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan
oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini,
nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih
ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah
dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila
keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan,
sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden
hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh
Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan.
Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945
yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat
diwujudkan.
Pada
periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila
keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak
(voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak
individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang
berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin
melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik
dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi
anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang
diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang
menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan
Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan
yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila
diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas
pemerintahan.
Pada
periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan
berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai
Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah
berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya
Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik
konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak
cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang
tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk
menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila,
Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK.
Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang
teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin
dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang
memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia
internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat
ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai
ideology otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi
rakyat.
Pada
masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah sering terjadi
penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang bertentangan dengan
pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD1945 pada masa itu belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan
pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan lemahnya control yang
seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
3. Era
Orde Baru
Orde
baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari
Pancasila.Diera Orde Baru, stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas
dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin
menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila
begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak
memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut
Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan
“menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat
politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut, penanaman
nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam
kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat kental, toleransi di kalangan
masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong sangat dijunjung tinggi. Selain
penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai
asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi,
apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan
sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya.
Istilah
terkenal pada Orde Baru adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan
trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita
lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto
melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang
disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau
Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era
sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa.
Pada
awalnya P4 memang memberi angin segar dalam pengamalan Pancasila, namun
beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak
sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat
dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi politik dan keamanan
dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan sentralistik dan otoritarian.
Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi
tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM
terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara. Pancasila
seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Ia
dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi
yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan, Pancasila selama
Orde Baru diarahkan menjadi ideology yang hanya menguntungkan satu golongan,
yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak
demokrasi dikekang.
4. Era
Reformasi
Memahami
peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara
dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara
Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap
yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila
sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir
atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai
landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap perbuatan
baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus berdasarkan hukum,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam
pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang
akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila
Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila
pancasila.
Pancasila
sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa
nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di
implementasikan sebagai berikut :
•
Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial ,politik, agama, dan ekonomi
• Mementingkan kepentingan rakyat /
demokrasi dalam pengambilan keputusan.
• Melaksanakan keadilaan sosial dan
penentuan prioritas kerakyatan
• Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan
menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
• Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan
toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila
sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung pengertian
bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan
sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu
smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut
pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas, karena kebudayaan
nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat
persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan.
Pancasila
sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam, maka paradigma baru TNI
terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran
sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai
bagian dari sistem nasional.
Pancasila
sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat ilmu
(philosophy of science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila
sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada
aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat
ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam
upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan
harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses menggambarkan
suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi,
imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi
mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil
yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta
aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu bahwa
Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan metode
berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
Aksilogis, yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas,
pemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak
bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan
nilai-nilai ideal Pancasila.
Namun,
di era reformasi ini Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan
menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit
politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang
sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya karena
rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang
otoriter.
Terlepas
dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya bangsa ini,
yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang
lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara.
Unduh dan Baca selengkapnya [ DISINI ]
Baca juga :
0 Response to "MAKALAH PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA"
Post a Comment