makalahku10 - Mekanisme Bacillus Thuringiensis Dalam Membunuh Hama Ulat
Selamat berjumpa kembali di blog makalahku10.blogspot.com ,kali ini admin akan membahas mengenai makalah IPA yang berjudul Mekanisme Bacillus Thuringiensis Dalam Membunuh Hama Ulat ,yang mana makalah tersebut ada pada materi Pestisida/Biopestisida.Langsung saja mari kita simak makalah tersebut dibawah ini.
PENDAHULUAN
Biopestisida adalah pestisida yang
mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Pestisida
biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi
(mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi
(mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida,
nematisida dan herbisida biologi telah banyak diteliti, tetapi belum banyak
dipakai.
Salah satu hama yang banyak menyerang tanaman
pertanian adalah dari jenis serangga seperti ulat, larva kumbang, dan lalat
buah. Serangga tersebut dapat memakan daun, menggerogoti batang dan akar,
maupun membusukkan buah. Petani biasanya menggunakan pertisida untuk
mengendalikan serangga tersebut. Penyemprotan pestisida dapat mematikan
serangga karena efek zat kimia beracun yang dikandungnya. Zat kimia dalam
pertisida memang terbukti efektif dalam membasmi serangga, namun hal ini
menimbulkan masalah baru karena zat kimia dalam pestisida juga beracun bagi
manusia dan hewan lain apabila terakumulasi di dalam tubuh.
Penggunaan bahan pembasmi serangga yang efektif dan
tidak membahayakan organisme lain terus berkembang dalam dunia pertanian. Salah
satu penemuan yang cukup efektif untuk membasmi serangga pengganggu namun aman
bagi organisme yang lain terutama manusia adalah penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis dalam pertanian.
Penggunaan bakteri ini telah dikenal di Amerika Serikat sejak awal tahun
1960-an. Namun di Indonesia bakteri ini belum umum digunakan karena belum
dikenal luas di kalangan petani, terutama petani tradisional.
Setelah kita mengetahui beberapa
keunggulan dari salah satu pestisida dalam bentuk mikroba tersebut, maka dapat
disimpulkan keuntungan yang didapatkan dalam suatu biopestisidayaitu menjaga kesehatan tanah dan mempertahankan hidupnya dengan meningkatkan
bahan organik tanah, spesies tertentu yang digunakan aman baik sebagai musuh
alami dan organisme non target, biopestisida tidak terlalu beracun seperti
pestisida kimia sehingga aman untuk lingkungan, pestisida mikroba mengandalkan
senyawa biokimia potensial yang disintesis oleh mikroba, dibutuhkan dalam
jumlah terbatas dan mudah membusuk sehingga dapat mengurangi pencemaran.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DAN PENJELASAN BAKTERI
BACILLUS THURINGIENSIS (BT)
Bacillus thuringiensis atau biasa
disingkat dengan BT merupakan bakteri yang mampu menghasilkan zat kimia yang
beracun bagi serangga. Secara alami, bakteri ini terdapat di dalam tanah, pada
serangga, maupun pada permukaan tanaman. BT yang dimakan serangga akan
mengeluarkan racun yang mematikan dalam sistem pencernaan serangga. Oleh karena
itu BT biasanya disemprotkan pada permukaan tanaman yang menjadi makanan
serangga pengganggu. Serangga yang memakan daun, bunga, atau buah yang telah
disemprot akan mati setelah beberapa waktu karena keracunan dan infeksi.
Serangga muda/immature lebih rentan terhadap serangan racun BT dibandingkan
dengan serangga dewasa.
B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies
(hingga tahun 1998) berdasarkan serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari
bakteri ini yang membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah
kemampuan membentuk kristal paraspora
yang berdekatan dengan endospora
selama fase sporulasi III dan IV. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi,
berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan bermacam-macam
antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain.
Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat
membentuk beta-eksotoksi yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup,
termasuk manusia dan insekta.
B. thuringiensis adalah bakteri gram-positif,
berbentuk batang, yang tersebar secara luas di berbagai negara. Bakteri ini
termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada
tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan
membentuk fase sporulasi. Saat sporulasi terjadi, tubuhnya akan terdiri dari
protein cry yang termasuk ke dalam protein kristal kelas endotoksin
delta. Apabila serangga memakan toksin tersebut maka serangga tersebut dapat
mati. Oleh karena itu, protein atau toksin cry
dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami.
B. thuringiensis yang
digunakan sebagai pembasmi serangga biasanya merupakan hasil pembiakan secara
invitro di laboratorium. Dengan medium tertentu akan dihasilkan B. thuringiensis dalam
jumlah banyak yang dapat digunakan untuk menyemprot tanaman setelah diencerkan.
Penggunaan B.
thuringiensis dapat digunakan sebagai alternatif membasmi serangga
yang tidak membahayakan organisme lain, sebagai pengganti penggunaan pestisida
yang berbahaya.
A.
PENAPISAN ISOLAT YANG
TOKSIK
Tidak semua isolat B. thuringiensis beracun terhadap serangga.
Untuk itu perlu dilakukan penapisan daya racun dari isolat-isolat yang telah
diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini. Pertama
dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.
Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan
primer-primer yang dapat menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen
penyandi protein kristal (gen cry). Hasil PCR ini dapat
dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih dulu
melakukan bioasai terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak
isolat untuk kandungan gen-gen cry tertentu dapat dilakukan dengan
cepat.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu
dilakukan bioasai dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat
tersebut kepada serangga target. Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun
antar isolat. Dengan pendekatan seperti ini BB-Biogen telah mengidentifikasi
beberapa isolat B. thuringiensis lokal yang mengandung gen cry1
dan beracun terhadap beberapa serangga.
B.
CARA PERBANYAKAN BAKTERI BACILLUS THURINGIENSIS (BT)
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat
dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang kita perlukan
sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka diperlukan media yang
dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandung tryptose
telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis.
Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini
dengan pengocokan pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini
dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.
C.
POTENSI SEBAGAI
BIOINSEKTISIDA
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau
protein kristal B. thuringiensis dalam bentuk kering atau padatan.
Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel B. thuringiensis
yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein
kristal yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi,
perekat, perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.
D.
TEKNOLOGI PRODUKSI
BIOPESTISIDA SKALA INDUSTRI
Pengembangan industri umumnya dilakukan dengan menggunakan tahapan
skala laboratorium, skala pilot plant, dan skala industri. Skala
laboratorium merupakan tahap penyeleksian mikroba yang digunakan, skala pilot
plant merupakan tahap penerapan kondisi operasi optimum dan skala industri
merupakan tahap yang prosesnya akan dilaksanakan dengan pertimbangan
perhitungan ekonomi.
Penelitian skala laboratorium telah mendapatkan nisbah karbon dan
nitrogen dengan media onggok tapioca
dan urea optimum sebesar 7:1, pH dan suhu sebesar 6,90 + 0,10 dan 26,35 + 1,500
C serta laju agitasi dan laju optimum, yaitu 200 rpm dan wm.Translasi skala
laboratorium ke skala pilot plant atau industri memerlukan patokan
perhitungan yang tepat. Ada beberapa metode yang digunakan dalam penggandaan
skala. Mengingat fermentasi bioinsektisida Bacillus thuringiensis bersifat
aerobik, maka digunakan patokan penggandaan skala yang berhubungan dan mengacu
pada perpindahan oksigen, yaitu tekanan parsial Oz atau Po.
Ketersediaan oksigen sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan sintesis
bioinsektisida oleh B. thuringiensis. Parameter penting yang
berpengaruh pada ketersediaan oksigen di dalam media adalah koefisien
perpindahan oksigen volumetric dan kebutuhan tenaga per unit volume. Oleh
karena itu, dalam tahap penggandaan skala dicoba dua patokan tersebut.
Perhitungan penggandaan skala memerlukan data ciri reologi cairan fermentasi
dan spesifikasi fermentor yang digunakan, yakni tipe pengaduk, jumlah pengaduk,
diameter pengaduk, jumlah baji, tinggi fermentor, diameter tangki, dan volume
tangki fermentor.
Agar penyimpangan yang terjadi selama proses penggandaan skala dapat
diminimumkan sehingga tidak menyebabkan kerugian, maka kajian penggandaan skala
produksi bioinsektisida dilakukan dengan mempertahankan keasaman geometric
fermentor, menggunakan komposisi media, suhu proses, pH awal, konsentrasi
kelarutan oksigen, dan galur mikroorganisme yang sama.
Langkah yang dilakukan, yaitu
1. Isolasi Mikroba
Cara untuk mendapatkan biakan murni disebut isolasi. Isolasi merupakan
salah satu tahapan yang sangat penting dalam industri. Isolat yang diperoleh
dan bersifat unggul akan digunakan untuk memproduksi senyawa yang bernilai
ekonomi.
Sumber mikroba diberi perlakuan yang dapat merangsang pertumbuhan
mikroba khusus yang diinginkan dan sekaligus menghambat pertumbuhan mikroba
yang tidak diinginkan atau mikroba ditumbuhkan dalam medium yang bersifat
selektif. Untuk mendapatkan kelompok mikroba khusus digunakan media yang diberi
tambahan nutrisi khusus yang sesuai dengan habitat alami, yang disebut dengan
media diperkaya.
2. Seleksi Mikroba
Dari sejumlah isolat yang didapat, perlu dilakukan seleksi untuk
memilih isolat terbaik atau unggul dalam produksi. Sifat-sifat yang harus
dimiliki isolat terpilih adalah
1.
Murni, bebas dari
segala kontaminan
2.
Dapat tumbuh dengan
subur, fase adaptasi singkat atau tidak ada
3.
Dapat menghasilkan
produk yang diinginkan (aktivitas spesifik)
4.
Mampu menghasilkan
produk yang diinginkan dengan konsentrasi tinggi dalam waktu singkat
5.
Mudah disimpan dan
dipelihara dalam jangka waktu lama
3. Karakterisasi dan Identifikasi
Karakterisasi atau penentuan sifat fisiologis mikroba, merupakan dasar
dalam identifikasi mikroba secara sistematik. Beberapa karakter yang perlu
diketahui dari isolat, antara lain adalah:
1.
Morfologi dan struktur
sel (spora, flagel)
2.
Sifat Gram
3.
Morfologi koloni pada
media padat
4.
Sifat petumbuhan pada
medium cair
5.
Kebutuhan oksigen
6.
Kebutuhan energi dan
nutrient
7.
Suhu dan pH optimal
untuk pertumbuhan
8.
Kurva pertumbuhan
Selanjutnya
identifikasi isolat dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain
berdasarkan:
1. Reaksi
enzimatik/tes biokimia, yaitu fermentasi gula, TSIA, Indol, Metilred,
Vouges Pros kauer, Citrat, Urease, katalase, oksidase dan sebagainya.
2. Tes
serologi, yakni reaksi antigen dengan antibodi
3. Sifat
genetik, yakni dengan menentukan komposisi basa, urutan basa nukleotida dan
hibridisasi DNA
4. Urutan
asam amino, urutan asam amino yang menyusun protein adalah spesifik, karena
merupakan refleksi dari urutan basa DNA, dan lain-lain.
4. Pemeliharaan Kultur
Pemeliharaan kultur bertujuan untuk mencegah kontaminasi dan perubahan
genetik serta untuk mempertahankan tingkat aktivitas dan viabilitas sel serta
mutu genetik. Oleh karena itu, tahap ini merupakan tahap yang paling menentukan
kelangsungan industri. Bila tidak dipertahankan, maka mutu dan jumlah produksi
akhir juga tidak bisa dipertahankan. Mikroba mudah sekali mengalami mutasi
secara spontan, sehingga mutu genetik kultur relatif sulit dipertahankan dan
dapat menyebabkan penurunan kemampuan dalam menghasilkan metabolit.
5. Propagasi Kultur dan Pembuatan Starter
Propagasi kultur bertujuan untuk mendapatkan inokulum yang sehat dan
aktif serta tersedia dalam jumlah mencukupi. Inokulum yang berupa kultur kerja
tidak dapat langsung digunakan untuk fermentasi. Fermentasi dalam kapasitas
besar memerlukan inokulum yang cukup banyak. Biasanya inokulum hasil propagasi
tidak mencukupi sehingga perlu dibiakan kembali untuk mencapai jumlah yang
diinginkan. Inokulum yang siap diinokulasikan ke fermentor disebut dengan starter
(biakan aktif). Starter biasanya dibuat dalam fermentor kecil dengan
kondisi medium terkendali menyerupai fermentor besar.
KESIMPULAN
- Biopestisida
adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen,
virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah
jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis
fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur).
- Bacillus thuringiensis
adalah bakteri gram-positif, berbentuk batang, yang tersebar secara luas
di berbagai negara. Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat
hidup di daun tanaman konifer maupun pada tanah.
- Ketika
lingkungan tidak mendukung, maka bakteri B. thuringiensis akan
embentuk fase sporulasi. Pada saat sporulasi tubuhnya akan terdiri dari
protein Cry yang termasuk ke dalam protein kristal kelas
endotoksin delta. Apabila serangga memakan toksin tersebut maka serangga
tersebut dapat mati. Oleh karena itu, protein atau toksin Cry dapat
dimanfaatkan sebagai pestisida alami.
- Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati
DAFTAR
PUSTAKA
AnonimI. 2008. Bioinsektisida
Alternatif: Bacillus Thuringiensis (BT).
http://anekaplanta.wordpress.com/2008/03/02/bioinsektisida-alternatif-bacillus-thuringiensis-bt/(diunduh tanggal 12 Desember 2015)
AnonimII. 2008.Biopestisida
Sebagai Pengendali Hama Dan Penyakit Tanaman Hias.
http://anekaplanta.wordpress.com/2008/04/22/biopestisida-sebagai-pengendali-hama-dan-penyakit-tanaman-hias/(diunduh tanggal 12 Desember 2015)
AnonimIII. 2011.Bacillus
Thuringiensis (BT) Pada Air Cucian Beras.
http://youarestronger.wordpress.com/2011/04/14/bacillus-thuringiensis-bt-pada-air-cucian-beras/(diunduh tanggal 12 Desember 2015)
AnonimIV. 2014. Peran
Bacillus thuringiensis Sebagai Agen Pembasmi Serangga.
http://www.edubio.info/2014/09/peran-bacillus-thuringiensis-sebagai.html (diunduh tanggal 12 Desember 2015)
Krisno, Agus. 2011. Penggunaan
Bacillus Thuringiensis sebagai Biopestisida.
http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/12/30/penggunaan-bacillus-thuringiensis-sebagai-biopestisida(diunduh tanggal 12 Desember 2015)
Suwahyono,
Untung. 2010. Biopestisida. Jakarta:Penebar Swadaya
Tim
Agromedia. 2010. Petunjuk Praktis Membuat Pestisida Organik. Jakarta: Agromedia
Pustaka
http://biochronica.blogspot.com/p/bioteknologi.html(diunduh tanggal 12 Desember 2015)
http://edukasi.kompasiana.com/2010/04/11/biopestisida/(diunduh tanggal 12 Desember 2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Biopestisida(diunduh tanggal 12 Desember 2015)
Unduh dan Baca makalah diatas selengkapnya [ DISINI ]
Baca juga makalah lain mengenai MAKALAH BLOK 17 MUSKULOSKELETAL
Baca juga makalah lain mengenai PEMANFATAN BATERAI BUAH KENTANG DAN BATERAI MAGNETIK SERTA APLIKASINYA
0 Response to "Mekanisme Bacillus Thuringiensis Dalam Membunuh Hama Ulat"
Post a Comment