Makalah terupdate dan terlengkap wiskeypedia - Unduh Makalah Hukum Laut Asas Keterpaduan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah kita ketahui
bersama bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah,
baik sumber hayatinya maupun non hayatinya. Terlepas dari hal tersebut, kenyataannya Indonesia adalah negara maritim
dengan 70% wilayahnya adalah laut yang
terkandung di dalamnya kekayaan yang sangat menopang hidup dan kehidupan
masyarakat. Salah satu dari kekayaan tersebut adalah sumber hayati yaitu sumber
daya perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budi daya.
Terlepas dari hal diatas, kebijakan pembangunan perikanan tidak pernah mendapat
perhatian yang serius dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Pemerintah Pusat cenderung menyamaratakan kondisi setiap
daerah dalam mengambil kebijakan tentang kelautan. Sedangkan, Pemerintah Daerah
cenderung lamban dalam memberikan informasi dan data-data terkait pembangunan
wilayah pesisir. Implikasi dari
tidak adanya prioritas kebijakan pembangunan perikanan tersebut, mengakibatkan
sangat minimnya prasarana perikanan di wilayah pesisir, terjadinya abrasi
wilayah pesisir dan pantai, pengrusakan ekosistem laut dan terumbu karang, serta belum teroptimalkannya
pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan.
Pembangunan
Kelautan hingga saat ini masih menghadapi berbagai kendala di dalam
pelaksanaannya. Hal tersebut disebabkan belum adanya undang-undang yang secara
komprehensif mengatur keterpaduan berbagai kepentingan sektor di wilayah Laut.
Kendala tersebut dapat ditemukan, baik pada lingkup perencanaan, pemanfaatan,
serta pengawasan dan pengendalian.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana bentuk keterpaduan dalam
pembangunan kelautan di Indonesia?
2. Bagaimana bentuk kebijakan
pemberdayaan nelayan dalam otonomi daerah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui bentuk keterpaduan dalam pembangunan kelautan di
Indonesia.
2. Mengetahui bentuk kebijakan
pemberdayaan nelayan dalam otonomi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Keterpaduan
Keterpaduan
adalah integrasi kebijakan kelautan melalui perencanaan berbagai sektor
pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Sifat keterpaduan dalam pembangunan kelautan menghendaki
koordinasi yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan
pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu, dibutuhkan visi, misi, strategi,
kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi
dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor,
tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan
pembangunan kelautan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian
dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar
dengan perencanaan dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu
kombinasi dan sinkronisasi yang lebih mantap.
Namun yang
terpenting adalah bagaimana nelayan bisa lebih diberdayakan di era
desentralisasi. Sebab, semangat pengelolaan sumberdaya kelautan adalah semangat
otonomi yang meletakkan daerah sebagai sumbu utama lokomotif pelaksanaannya.
Dalam konteks ini, daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola
SDK-nya dengan tujuan utama tentunya pada kesejahteraan daerah dan setiap
lapisan masyarakat yang ada di dalamnya.
Namun, Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, terutama berkaitan dengan ketentuan pada Pasal 10, tidak sejalan dengan upaya pengembangan sektor perikanan, bahkan bersifat kontraproduktif.
Pasal 10 ayat 2 pada UU tersebut mengatur wewenang daerah, dalam ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan sumberdaya ikan hanya terbatas pada 12 mil laut untuk pemerintah provinsi dan 4 mil untuk pemerintah kabupaten. Penjelasannya menyebutkan, khusus untuk penangkapan ikan tradisional, tidak dibatasi wilayah laut. Masalahnya, karena batasan tradisional belum ditentukan dengan pasti. Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadi kontraproduktif terhadap pengembangan perikanan. Akibatnya, pengembangan perikanan di dalam batas-batas laut tersebut yang menjadi wewenang daerah akan sulit dilaksanakan. Hal ini terjadi, karena mobilitas nelayan yang tinggi dalam menangkap ikan.
Namun, Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, terutama berkaitan dengan ketentuan pada Pasal 10, tidak sejalan dengan upaya pengembangan sektor perikanan, bahkan bersifat kontraproduktif.
Pasal 10 ayat 2 pada UU tersebut mengatur wewenang daerah, dalam ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan sumberdaya ikan hanya terbatas pada 12 mil laut untuk pemerintah provinsi dan 4 mil untuk pemerintah kabupaten. Penjelasannya menyebutkan, khusus untuk penangkapan ikan tradisional, tidak dibatasi wilayah laut. Masalahnya, karena batasan tradisional belum ditentukan dengan pasti. Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadi kontraproduktif terhadap pengembangan perikanan. Akibatnya, pengembangan perikanan di dalam batas-batas laut tersebut yang menjadi wewenang daerah akan sulit dilaksanakan. Hal ini terjadi, karena mobilitas nelayan yang tinggi dalam menangkap ikan.
B.
Kebijakan
Pemberdayaan Nelayan Dalam Otonomi Daerah
Lahirnya
otonomi yang lebih luas melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah
memberikan mandat dan kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola dan
mengkoordinasi pemanfaatan sumberdaya pesisirnya. Pasal 3 UUPD menyatakan bahwa
wilayah Daerah Propinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12
mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut. Selanjutnya dalam Pasal 10
UUPD memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota untuk
mengelola sumberdaya nasional sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi.
Baca dan Unduh selengkapnya [ DISINI ]
0 Response to "Makalah Hukum Laut Asas Keterpaduan"
Post a Comment